Minggu, 22 April 2012

CONTOH PROPOSAL


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Permasalahan

            Dengan azas desentarlisasi yang di anut Negara Indonesia, yaitu pemerintahannya memberikan kesempatan  dan keleluasaan kepada daerah untuk menyelenggarakan otonomi daerah sesuai dengan Undang – Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah. Dalam penyelengaraan otonomi daerah, pemerintah pusat memberikan kewenangan luas, nyata dan bertanggung jawab kepada daerah secara proporsional yang di laksanakan dengan prinsip – prinsip desentralisasi, peran serta masyarakat, pemerintah dan keadilan serta memperhatikan potensi dan keaneka ragaman daerah, dengan demikian daerah mempunyai wewenang untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri secara bedaya guna dan berhasil guna.
            Sumber – sumber pembiayaan dalam melaksanakan penyelenggaraan otonomi daerah, seperti yang tecantum dalam Undang – undang Nomor 25 tahun 1999 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah terdiri atas pendapatan daerah, dana perimbangan, pinjaman daerah, dan lain – lain. Sumber pendapatan daerah merupakan sumber keuangan daerah yang terdiri atas wilayah daerah yang bersangkutan meliputi pajak daerah, retribusi daerah, hasil perusahaan daerah, pengelolaan kekayaan daerah, deviden dan penjualan saham milik daerah serta sumber – sumber pendapatan lainnya yang sah.
            Salah satu langkah guna mengantisipasi era globalisasi adalah pembenahan kebijakan fiskal dan moneter, yaitu dalam konteks kebijakan fiskal khususnya mengenai pepajakan daerah harus di upayakan adanya harmonisasi antara kebijakan fiskal pusat dengan daerah. Salah satu bentuk harmonisasi tersebut adalah sinkronisasi sistem dan struktur perpajakan pusat dan daerah melalui reformasi perpajakan pusat dan daerah, yaitu untuk lebih memberdayakan daerah melalui peningkatan pendapatan daerah agar mampu menjalankan otonominya.
            Undang – Undang Nomor 34 tahun 2000 yaitu Undang – Undang pajak daerah dan retribusi daerah merupakan hasil reformasi perpajakan yang di bentuk dengan tujuan untuk lebih menyederhanakan dan memperbaiki jenis dan struktur perpajakan daerah, meningkatkan pendapatan, memperbaiki sistem administrasi dan retribusi daerah, mengklasifikasikan retribusi serta menyederhanakan tarif pajak dan retribusi daerah. Salah satu sumber pendapatan daerah yang mempunyai peranan yang sangat penting dalam membiayai pemerintahan daerah dan pembangunan daerah adalah pajak, yang mana pajak daerah terdiri dari Pajak Kendaraan Bermotor, Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Air, Pajak Reklame, Pajak Hiburan, Pajak Hotel, Pajak Bumi dan Bangunan ( PBB ), dan Bea Peralihan Hak atas Tanah dan Bangunan ( BPHTB )
            Salah satu penerimaan pajak di Indonesia yang kehidupan dan perekonomiannya sebagian besar bercorak agraris, sesuai dengan pasal 33 Undang – Undang Dasar 1945 di sebutkan bahwa bumi, air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya mempuyai fungsi penting dalam membangun masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang – Undang Dasar 1945. Oleh karena itu bagi mereka yang memperoleh manfaat dari bumi dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, termasuk yang memanfaatkan konstruksi teknik yang di lekatkan secara tetap pada tanah, karena mendapat sesuatu manfaat, wajar jika mereka menyerahkan sebagian dari kenikmatan yang di perolehnya kepadan Negara melalui pembayaran pajak, dalam hal ini Pajak Bumi dan Bangunan.
            Sesuai dengan ketentuan pasal 23 ayat 2 Undang – Undang Dasar 1945 dan Undang – Undang  Nomor 12 tahun 1985 jo Undang – Undang Nomor 12 tahun 1994 tentang Pajak Bumi dan Bangunan  ( PBB ) merupakan landasan hukum dalam pengenaan pajak sehubungan dengan hak atas bumi dan/atau perolehan manfaat atas bumi dan/atau kepemilikan, penguasaan dan/atau perolehan manfaat atas bangunan. Pada hakikatnya, pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan merupakan salah satu sarana perwujudan kegotongroyongan nasional dalam pembiayaan Negara dan pembangunan nasional, sehingga dalam pengenaannya harus memperhatikan prinsip kepastian hukum, keadilan, dan kesederhanaan serta di tunjang oleh sistem administrasi perpajakan yang memudahkan wajib pajak dalam memenuhi kewajiban membayar pajak.
            Sebelum berlakunya Undang – Undang ini, terhadap tanah yang tunduk pada hukum adat telah di pungut pajak hasil bumi berdasarkan Undang – Undang Nomor 11 PRP tahun 1959 dan terhadap tanah yang tunduk pada hukum barat di pungut pajak berdasarkan Ordonansi Verponding Indonesia 1923 dan Ordonansi Verponding 1928, selain itu juga terdapat pungutan pajak atas tanah dan bangunan yang di dasarkan pada Ordonansi Pajak Rumah Tangga tahun 1908, Ordonansi Pajak Kekayaan tahun 1932, Ordonansi Pajak Jalanan tahun 1942, Pasal 14 Huruf J, Huruf K, dan Huruf I, Undang – Undang Darurat Nomor 11 tahun 1957 tentang peraturan Umum Pajak Daerah dan Peraturan Pemerintah pengganti Undang – Undang Nomor 11 tahun 1959 tentang Pajak Hasil Bumi ( IPEDA ) dan lain – lain peraturan perundang – undangan sepanjang mengenai tanah dan bangunan “ Di nyatakan tidak berlaku lagi dan di ganti dengan pungutan Pajak Bumi dan Bangunan ( PBB )”.
Selain peraturan peraturan tersebut di atas, yang mengenai dasar dalam pemungutan pajak bumi dan  bangunan adalah sebagai berikut :
a)      Undang – Undang Nomor 12 tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan
b)      Peraturan Pemerintah Nomor 46 tahun 1985 tentang Presentase Nilai Jual Kena Pajak pada Pajak Bumi dan Bangunan.
c)      Keputusan Menteri Keuangan No 1002/KMK.04/1985 tentang tata cara pendaftaran objek Pajak Bumi dan Bangunan ( PBB )
d)     Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1003/KMK.04/1985 tentang penuntun klasifikasi dan besarnya Nilai Jual Objek Pajak sebagai pengenaan PBB.
e)      Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1006/KMK.04/1985 tentang tata cara penagihan PBB dan penunjukan pejabat yang berwenang mengeluarkan surat paksa
f)       Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1007/KMK.04/1985 tentang pelimpahan wewenang dan penagihan Pajak Bumi dan Bangunan kepada Gubernur, Kepala  Desa tinggkat I dan/atau Bupati/Walikota madya Kepala Daerah tingkat II
g)      Undang – Undang Nomor 12 tahun1994
Dengan demikian, maka Pajak Bumi dan Bangunan ( PBB ) dapat di definisikan adalah “Pajak Negara yang di kenakan terhadap bumi dan/atau bangunan berdasarkan Undang – Undang Nomor 12 tahun 1994” tentang PBB yang menyatakan bahwa  PBB di kenakan kepada setiap orang atau badan yang mempunyai hak / manfaat atas bumi atau memiliki, menguasai / memperoleh manfaat atas bangunan “. Pemerintah dalam menjalankan pelaksanaan pemungutan PBB terlebih dahulu menganggarkan target yang akan di capainya, agar rencana penerimaan PBB tersebut sesuai dengan yang di harapkan.
Undang – Undang dasar 1945 telah menempatkan kewajiban perpajakan sebagai salah satu perwujudan dan kewajiban kenegaraan dan sebagai sarana turut serta dalam pembiayaan Negara dan pembangunan nasional dalam rangka mencapai masyarakat yang adil dan makmur, sehingga sudah sewajarnya pemilik atau pihak yang memperoleh manfaat bumi dan kekayaan alam menyerahkan atau membayar pajak bumi dan bangunan yang di bayar setiap tahun sesuai dengan ketentuan yang telah di atur dalam Undang – Undang Nomor 12 tahun 1985 dan telah di ubah menjadi Undang – Undang Nomor 12 tahun 1994 tentang pajak bumi dan bangunan, tetapi dengan seiringnya perkembangan ekonomi yang sangat pesat dan untuk membrikan kepeercayaan kepada wajib pajak dalam melaksanakan kewajiban dan memenuhi haknya di bidang perpajakan sehingga dapat mewujudkan dan meningkatkan kesadaran kewajiban perpajakan serta meratakan pendapatan masyarakat maka  pada tanggal 15 September 2009 DPR telah mengesahkan Rancangan Undang – Undang menjadi Undang – Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah  ( UU PDRD ) menegaskan bahwa untuk pajak daerah yang tadinya di kelola Pemerintah Pusat di alihkan ke Pemerintah Daerah kecuali sektor perkebunan, pertanian dan pertambangan.
Dengan melihat kondisi ekonomi secara global maka tidak menutup kemungkinan perekonomian daerahpun ikut menggeliat seiring dengan peningkatan taraf  hidup masyarakat yang semakin membaik, tidak terkecuali Pemerintah Kabupaten Pandegalang yang saat ini sedang terus berbenah dan terus meningkatkan kesejahteraan masyarakat di berbagai sektor terutama sektor perpajakan karena kondisi pendapatan asli daerah ( PAD ) Kabupaten Pandeglang  yang masih banyak membutuhkan dana dalam rangka pembangunan daerah Kabupaten Pandeglang baik pembangunan infrastruktur maupun pembangunan sektor lainnya.
Pemerintah Kabupaten Pandeglang akan terus berupaya meningkatkan penerimaan perpajakannya karena Pemerintah Kabupaten Pandeglang sadar  akan karakteristik masyarakat dan kondisi daerah Kabupaten Pandeglang yang sangat berpotensi dalam penerimaan pajak hususnya Pajak Bumi dan Bangunan  karena sebagian besar wilayah dan masyarakat Kabupaten Pandeglang masih belum mempunyai kesadaran kewajiban perpajakannya, dan untuk wajib pajak yang lalai akan kewajiban perpajakannya maka akan di lakukan penagihan melalui mekanisme yang berlaku sesuai perundang – undangan perpajakakan.
Tindakan penagihan dan sosialisasi akan mekanisme pelaporan dan penyetoran pajak sangat penting bagi pemerintah Kabupaten Pandeglang, karena pendapatan pemerintah Kabupaten Pandeglang  sebagian besar di peroleh  dari sektor pajak selain komoditi pertanian  yang kemudian di gunakan untuk kepentingan masyarakat dan di gunakan untuk menjalankan pembangunan pemerintah.
Dengan melihat latar belakang mengenai pemungutan, penagihan pajak bumi dan bangunan dari penerimaan pajak di kantor pelayanan pajak tersebut, di mana jenis objek dan subjek pajak cukup banyak, pembangunan yang pesat, dan harga jual yang cukup tinggi yang di lakukan wajib pajak, oleh karean itu penulis tertarik untuk mengangkat tema Pajak Bumi dan Bangunan pada sebuah penelitian penagihan Pajak Bumi dan Bangunan dan Penerimaan Pajak  pada Kantor Pajak dengan judul “ PENGARUH PENAGIHAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN ( PBB ) TERHADAP PENERIMAAN PAJAK PADA KANTOR PELAYANAN PAJAK PRATAMA KABUPATEN PANDEGLANG “.




B. Identifikasi Masalah

            Berdasarkan latar belakang tersebut di atas penulis mengidentifikasi masalah dalam penelitian ini, adapun masalah yang teridentifikasi sebagai berikut :
1.      Masalah – masalah yang di hadapi dalam penagihan PBB pada KPP Pratma Kab.Pandeglang masih kompleks
2.      Prosedur penagihan PBB Pada KPP Pratama Kab. Pandeglang kurang di sosialisasikan, karena kurang pedulinya wajib pajak
3.      Sumber penerimaan pajak di KPP Pratama Kab.Pandeglang tidak komprehensif terutama daerah pedesaan
4.      Juamlah Penerimaan pajak di KPP Pratama Kab.Pandeglang  belum maksimal
5.      Sosialisasi peraturan pajak terbaru terkait dengan peralihan pajak dari pusat ke daerah masih banyak masyarakat yang belum tahu
6.      Cara dan faktor yang mempengaruhi penagihan PBB pada KPP Pratama Kab.Pandeglang masih banyak kendala karena pengetahuan wajib pajak akan perpajakan masih rendah.

C. Pembatasan Masalah
            Untuk memfokuskan  penulis dalam penelitian dan agar penelitian tidak melebar jauh dari  pokok penelitian maka penulis membatasi masalah yang sudah  teridentifikasi yaitu sebagai berikut :
1.      Tempat penelitian hanya di fokuskan di KPP Pratama Kab.Pandeglang
2.      Data yang di ambil hanya dari tahun 2007 sampai 2011

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More